adakah aku dalam aku

abstract-art-black-8756

Jangan
Tak bisa terlalu dekat
Tajam tubuhku, kau akan terluka
Cukup sekali aku menyakitimu,
tolong maafkan
Kegelapan
Menyeruak di dalam
Diam-diam keluar saat aku tak siap
Mencaci, hina
Sebuah perkataan tajam yang tak pernah kau bayangkan akan keluar
Kemudian yang ada 
hanya derita
Tolong jangan mendekat
Aku sendiri ketakutan
pada ular yang kusimpan di dalam
pada dosa yang pernah kulakukan
pada iblis yang mengalir dalam nadi dan darah

kanvas dan arti di dalamnya

abstract-2501117_1920

Dalam sebuah kanvas.

Dimulai dari sebuah percikan. Memercik cahaya kecil, makin banyak, makin besar. Warna yang ia hasilkan mulai beragam, kemudian membentuk sebuah kerangka yang makin jelas bentuknya. Bergerak-gerak, pelan, cepat, pelan, berpola, seperti tarian. Sampai makin terasa jelas seperti apa ia menjadikan dirinya, sebuah bentuk yang tak terelakkan, yang sudah ditakdirkan mulai percikannya yang pertama. (lebih…)

sastra telah mati

gedung-tua-210680_1920

Sastra telah mati. Aku melihat sendiri pembunuhannya.

Di gedung kesenian ini, rombongan anak SMA dari beberapa sekolah di Surabaya berkumpul, untuk mendatangi acara sosialisasi sastra dan kepenulisan. Acara ini bertujan untuk meningkatkan minat baca dan membangkitkan rasa cinta akan sastra.

Mungkin aku cuma tukang sapu dan pel. Tapi dalam kasus pembunuhan, siapapun yang menyakiskannya, adalah seorang saksi. Beberapa sastrawan tua di atas panggung, menyampaikan petuah dan nasehatnya. Memberikan pengalaman hidup dan pandangan mereka terhadap apa yang telah mereka lalui. Menyampaikan cinta dan ketulusannya.

Meski sudah tua tapi kobaran api itu masih di sana, terang, meski tidak membakar, tapi masih menghangatkan.

Mengatakan, bahwa mereka siswa-siswi SMA yang saat ini duduk ‘mendengarkan’ adalah tonggak-tonggak baru negara ini. Fondasi yang membentuk negara di generasi berikutnya. Di mana nasib baik atau buruk masa depan adalah mereka yang tentukan. (lebih…)

Garis-Garis Merah (bagian 3)

bagian 3

(tulisan ini saya tulis sebagai latihan)

“Ini, nih, bagus kayaknya. Bud, kamu mesti baca ini.”

“Apaan judulnya?”

“Cara Merawat Pohon Bonsai,” kata Fathur, “tinggi badanmu kan kayak bonsai,”

“Laah, sialan kamu, Thur …” Kami bertiga tertawa mendengarnya. “Nih buat kamu, nih, judulnya ‘Bahaya Mi Instan’, kamu kan ketergantungan mi instan tiap hari.”

“Eh, nggak dong, makan mi instan tuh ada jadwalnya, hari Senin, Rabu, Jumat. Khusus Jumat, makannya dobel, soalnya habis olahraga.”

“Lah, habis olahraga bukannya makan yang sehat-sehat, malah mi instan. Dobel lagi,”

“Pakai telur, lah, gimana sih,”

Kami bertiga bercanda sendiri dan tanpa sadar beberapa orang di sana menoleh ke arah kami, terganggu. Kemudian kami mulai diam, dan bercanda sambil berbisik-bisik.

Yang jelas, Dinah juga menoleh ke arah kami. (lebih…)

Garis-Garis Merah (bagian 2)

garis-garis-merah-2

(tulisan ini saya tulis sebagai latihan)

“Gimana, Ron, ulangannya?”

“Kemarin aku nggak sempat belajar, Bud, mungkin kali ini nilaimu bakal lebih tinggi, hehe.”

“Lah, jarang-jarang, Ron, emang ada apa kemarin?”

Kemarin sampai malam aku tidak bisa tertidur. Banyak sekali yang sedang ada di pikiranku saat itu. Berpikiran kenapa aku harus bertemu dengannya, menyesal karena aku meladeni sebuah garis merah, terulang kembali di otakku pengalaman-pengalaman sial yang pernah kualami. Dan itu membuatku sama sekali tidak bisa menyentuh buku matematika.

Sampai jam sudah ada di angka 10, garis di buku itu berwarna merah, dan tempat tidurku bergaris hijau. Tapi aku malah membuka buku untuk belajar sampai malam. Dan tertidur di meja belajar. (lebih…)

Garis-Garis Merah (bagian 1)

Picture1.jpg

(tulisan ini saya tulis sebagai latihan)

“Eh, aku udah dijemput. Pulang dulu, ya.”

“Oh, iya, hati-hati, Ron! Jangan lupa besok ulangan!”

Kemudian aku beranjak menuju mobil yang menungguku di depan gerbang sekolah. Setelah masuk, kubuka kaca jendela mobil dan melambaikan tangan ke arah teman-temanku.

“Mau mampir dulu, Mas?” tanya Pak Dono, supirku.

“Kita ke perpus di Balai Pemuda ya, Pak.”

“Siap, Mas.” (lebih…)

aku di taman itu

Kemudian mataku terbuka.

Tempat ini terasa asing, sekaligus kukenal sebelumnya. Aku merasa aku pernah mengunjunginya. Tapi sebenarnya tidak. Entahlah.

Sebuah taman yang sangat indah. Sangat indah, sampai-sampai tidak bisa kujelaskan betapa indahnya. Suasana tenang dan nyaman menyelimutiku, jauh lebih nyata daripada yang pernah kualami sebelumnya. Seakan-akan semua kebahagiaan ada di sini. Bahkan lebih dari itu. Tempat ini seperti sungai kebahagiaan. Sumber dari semua cinta.

Aku ingin selalu ada di sini.

(lebih…)